Powered By Blogger

17 July 2006

Dilematis skala mayoritas dan minoritas

Salah satu kecenderungan manusia yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita adalah mengikuti suara terbanyak, opini publik, trend terkini, suara dari kelompok mayoritas, dan skala jumlah pengikut. Apabila seseorang dihadapkan kepada suatu situasi tertentu yang mengharuskannya untuk memilih atau memutuskan suatu hal maka konsep mengikuti "suara orang kebanyakan" adalah suatu paradigma yang seolah-olah wajib sifatnya. Skala kuantitatif dari suatu pendapat atau opini lebih disukai dan dipercaya sebagai indikator kebenaran. Anda mungkin pernah menonton acara kuis Who Wants to Be a Millionaire di RCTI asuhan Tantowi Yahya. Dalam acara kuis tersebut ada tiga bantuan bagi peserta jika pertanyaan yang diajukan sulit dijawabnya, salah satu bantuan yang cukup menjebak menurut saya adalah "Ask the audience". Para hadirin dipersilahkan memberikan jawaban, dan peserta dipersilahkan apakah mau mengikuti jawaban terbanyak dari hadirin ataukah tetap ingin menjawab sendiri. Saya pernah menonton beberapa kali ada peserta yang begitu yakin mengandalkan "Ask the audience" namun faktanya ternyata jawaban terbanyak dari hadirin tersebut justru salah, malahan jawaban audience yang cuma sedikit itu yang benar.

Contoh lain misalnya ada banyak sekali orang yang pakai produk Handphone merk tertentu yang populer, karena orang ramai-ramai beli HP merk tertentu maka semua ikut-ikutan atau istilah lainnya latah, sampai-sampai dulu pernah ada istilah “handphone sejuta umat”, hanya sedikit orang yang berani tampil beda masih bertahan dengan merk kurang populer lainnya. Contoh lainnya lagi saya pernah iseng-iseng masuk ke sebuah restoran pinggir jalan di daerah tertentu yang pengunjungnya sangat banyak, bahkan cenderung antri, tapi ironisnya ketika saya coba ternyata makanannya biasa saja tidak seenak yang dibayangkan, bahkan ada satu restoran yang pengunjungnya sedikit menurut saya jauh lebih enak masakannya. Tapi apa mau dikata memang faktanya “keramaian” sering kali menjadi indikator bagi kebanyakan orang dari pada kualitas. Di sisi lain apabila suatu produk tertentu dihindari banyak orang maka orang akan ikut-ikutan menghindari product tersebut, sebut saja misalnya mobil merk tertentu yang dulu sempat dijadikan Taxi, opini public langsung mendiskreditkan mobil tersebut sebagai mobil kelas bawah yang kurang layak dibeli oleh "orang berduit" padahal perusahaan Taxi tersebut memakai mobil merk tersebut sebagai armada Taxinya pasti atas dasar bahan pertimbangan segi kualitas mobil, misalnya karena mesinnya handal, onderdilnya kuat dan tahan lama, bahan bakarnya irit dan lain sebagainya. Hanya orang-orang idealis saja yang walaupun "berduit" atau kaya masih bertahan memakai mobil merk tersebut karena standard kualitas walaupun opini public telah mencap merk tersebut sebagai "mobil Taxi" yang tidak pantas dipakai orang-orang "berduit" waktu itu.

Saya melihat kecenderungan manusia memang demikian, mengandalkan suara terbanyak, skala mayoritas, opini public, karena orang cenderung merasa aman kalo ramai-ramai. Alasannya mungkin karena kebanyakan orang tidak mau repot-repot exploring mencari tahu sendiri kualitas suatu produk tertentu, dan lebih mengandalkan suara terbanyak ketimbang harus repot cari tahu sendiri. Atau ada juga alasan lain yang menyebabkan demikian, ada beberapa orang yang memang tidak mau ambil resiko “tampil beda”, bayangkan saja ilustrasinya kalau misalnya dalam suatu komunitas dari 1000 orang yang suka sama buah durian cuma kita sendiri saja yang tidak suka bahkan muntah kalo makan durian. Biasanya orang yang “berbeda” dari kebanyakan akan dicap aneh, unik dan segala cap negatif lainnya. Itulah sebabnya para marketing yang membuat iklan di TV menggunakan trend tersebut. Apakah anda pernah simak salah satu iklan dari Simpati di TV dengan motto “ada 15 juta orang memilih simpati mengapa anda harus berbeda?" dalam adegan iklan tersebut diperlihatkan ada salah satu suporter bola yg salah tempat duduk. Kenapa iklan tersebut tidak mengatakan misalnya “ada 15 juta orang memilih simpati karena kualitas dan bukan tanpa alasan". Karena memang tidak peduli alasan apapun yang menyebabkan 15 juta orang memilih simpati, yang penting adalah jumlah quantitas pemakai simpati tersebut, itu saja sudah cukup menjadi indikator bahwa produk tersebut sukses di pasaran. Dengan kata lain kebanyakan orang mengukur mutu suatu produk hanya melalui skala quantitas pemakai produk tersebut. Padahal pada kenyataannya ukuran tersebut tidaklah cukup untuk menilai kualitas produk tertentu, dibutuhkan ujicoba dan penelitian yang seksama, oleh karena itulah khusus untuk produk makanan dan obat-obatan yang notabene dikonsumsi oleh manusia, pemerintah membentuk suatu Badan independent yang dinamakan Dirjen POM (Pengawasan Obat dan Makanan) agar semua produk tersebut benar-benar teruji dan standar pengujian tersebut tidak pandang bulu, produk yang telah sukses beredar di pasaran dan diminati banyak orang juga tak lolos dari ujian.

Sekarang coba kita kaji sehubungan dengan eksistensi Agama? tidakkah anda juga melihat hal yang sama terjadi dalam hal agama? Kualitas agama lebih di-indikatorkan atas dasar jumlah pengikut ketimbang daripada kebenaran ajarannya. Itulah sebabnya kelompok agama baik agama induk maupun sekte-sekte berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak mungkin pengikut, anggota atau penganut. Parameter benar tidaknya suatu agama diukur dari banyak jumlah pengikutnya di seluruh dunia, apabila suatu kelompok agama jumlah pengikutnya sedikit atau sekelompok golongan minoritas maka bisa dipastikan kelompok tersebut akan dikucilkan, tidak diperhitungkan atau bahkan bisa dicap agama sesat. Maka tidakkah seharusnya agama juga diselidiki kebenarannya dan diawasi ajarannya agar tidak menyimpang dari kitab suci dari agama itu sendiri? hal ini tidak kalah penting dengan produksi makanan yang perlu diawasi oleh dirjen POM, sebab kepercayaan dan iman terhadap agama tertentu juga menyangkut soal keselamatan. Apakah skala pengikut mayoritas dapat menjadi indikator benar salahnya suatu hal? coba renungkan ilustrasi berikut: apakah jika korupsi sudah merupakan suatu kebiasaan atau tradisi dan banyak orang yang melakukannya maka hal itu menjadi benar? atau apakah hubungan seks pranikah yang notabene telah menjadi suatu kondisi yang lumrah dilakukan oleh kebanyakan remaja dengan demikian menjadi perbuatan yang benar? Tentu tidak bukan. Tetap saja ada standar moralitas yang baku yang semestinya dipakai sebagai bahan acuan.

Kalau kita lihat sejarah agama-agama besar di dunia ini dulunya juga adalah kelompok minoritas yang pengikutnya juga tidak diperhitungkan, catatan dalam kitab suci mencatat bagaimana Nuh (beberapa agama menyebut Nabi Nuh) dan keluarganya saja yang selamat dari penghukuman Tuhan berupa banjir besar atau air bah, hanya yang masuk ke dalam bahtera Nuh saja yang selamat. Demikian juga bagaimana hanya Lot dan kedua putrinya saja yang selamat dari pembinasaan Tuhan terhadap kota Sodom dan Gomorah. Dan bagaimana pada awalnya hanya 12 orang saja yang menjadi murid Yesus (nabi Isa) di tengah-tengah banyak orang Yahudi panganut agama Judaisme dan para ahli taurat orang Farisi yang menentang mereka. Kalau kita simak sejarahnya para tokoh perintis agama tersebut berani tampil beda di tengah-tengah suatu golongan mayoritas dan di tengah-tengah tatanan yang sudah mapan.

Bagaimana dengan kita, apakah kita juga mengukur benar-tidaknya suatu agama hanya dari skala kuantitas jumlah pengikut semata? sebenarnya kalau kita kaji lebih jauh hanya situasi dan kondisi tertentu dalam sejarah saja yang menjadikan suatu wilayah terbagi dalam kelompok mayoritas dan minoritas, jika kita tinggal di kota Roma mayoritas penduduknya beragama Katolik, kebetulan kita tinggal di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, jika kita tinggal di India maka mayoritas penduduknya beragama Hindu, jika kita tinggal di negara China maka mayoritas penduduknya beragama Budha, demikian seterusnya. Maka skala mayoritas hanyalah faktor wilayah saja bukan indikator benar tidaknya suatu agama. Maka apakah kita lebih cenderung ikut-ikutan dengan suara terbanyak atau golongan mayoritas belaka? atau apakah kita lebih senang memutuskan bagi diri kita sendiri mana yang benar dan salah setelah melalui banyak penyelidikan, pencarian dan riset pribadi walaupun resikonya kita bisa tampil berbeda dari kebanyakan orang? Kalau saya pribadi memilih yang terakhir yaitu mencari tahu dan menggali sendiri kebenaran ketimbang menggantungkan kebenaran dipundak para pendeta/pastur/uztad/biksu dan para pemimpin agama dari golongan mayoritas, seolah-olah dengan pasrah membiarkan mereka yang memutuskan benar-salahnya segala hal terhadap diri saya.